KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum.Wr.Wb
Puji
syukur kami panjatkan kepada Allah SWT,
karena atas rahmat-Nya yang berlimpah, kami dapat menyusun makalah ini dengan
baik sesuai dengan kemampuan kami. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada kami untuk
menyelesaikan makalah ini. Untuk selanjutnya kami mengharapkan semoga makalah
ini dapat menambah wawasan bagi kami sendiri dan juga mahasiswa yang sedang
menempuh materi ini.
Kami
menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu kami
mengharapkan saran dan kritik agar makalah ini mendekati sempurna.
Akhir kata, semoga makalah yang kami susun ini berguna
bagi kita semua.
Amin-amin yarabbal ‘alamin.
Wassalamualaikum.Wr.Wb
Binjai, 12 juli 2017
Kelompok
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR
ISI.....................................................................................................ii
BAB
1 PENDAHULUAN.................................................................................1
1.1
Latar Belakang..............................................................................................1
1.2
Tujuan...........................................................................................................1
1.3
Manfaat........................................................................................................ 1
BAB
2 PEMBAHASAN................................................................................... 2
2.1
Pengertian Puisi............................................................................................. 2
2.2
Struktur Puisi................................................................................................. 2
2.2.1 Struktur Batin Puisi (Hakikat
Puisi) ........................................................2
2.2.2 Struktur Fisik Puisi..... ...........................................................................5
BAB
3 PENUTUP............................................................................................ 15
3.1 Kesimpulan.................................................................................................. 15
3.2 Saran........................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Salah
satu cabang kajian tentang sastra adalah puisi. Puisi merupakan bagian dari
ilmu sastra. Sastra dalam bahasa Sansekerta berarti tulisan atau karangan.
Puisi termasuk salah satu genre sastra yang berisi ungkapan perasaan penyair,
mengandung rima dan irama, serta diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat dan
tepat (Depdikbud, 1997: 794). Ciri-ciri
puisi dapat dilihat dari bahasa yang digunakan serta wujud puisi tersebut. Bahasanya mengandung rima,
irama, dan kiasan. Wujud puisi dapat
dilihat dari bentuknya yang berlarik membentuk bait, letak tertata, dan tidak
mementingkan ejaan.
Puisi
dapat juga membedakan wujudnya dengan membandingkan dari prosa. Ada empat unsur
yang merupakan hakikat puisi, yaitu: tema, perasaan penyair, nada puisi, serta
amanat. Selain itu, ada lima unsur yang merupakan metode puisi terdiri dari diksi, pengimajian, kata
konkret, bahasa figuratif, ritma dan rima.
Pengertian
puisi sendiri sampai saat ini masih terlalu sulit untuk di definisikan.
Kebanyakan para ahli telah membuat definisi puisi dari berbagai sudut pandang
mereka sendiri. Genre sastra akan dibagi menjadi dua bagian yaitu sastra
imajinatif dan sastra non imajinatif. Puisi sendiri terdapat pada bagian
imajinatif bersama dengan prosa. Sastra imajinatif sendiri memiliki ciri-ciri
isinya yang bersifat khayali, menggunakan bahasa yang konotatif dan memenuhi
syarat-syarat estetika seni.
Puisi
sendiri menitik beratkan keindahan bahasa yang digunakan oleh sang penulis atau
sang penyair. Pandangan seperti ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa ciri
khas sastra adalah pemakaian bahasa yang indah. Untuk lebih memahami apa itu
puisi, yang pertama harus kita ketahui adalah pengertian puisi dan struktur
puisi itu sendiri.
1.2 Tujuan
Tujuan pembahasan pada
makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan memahami apa saja unsur-unsur intrinsik puisi.
1.3 Manfaat
Agar penulis dan pembaca lebih
memahami mengenai unsur-unsur intrinsik dalam suatu penulisan puisi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Puisi
Para
ahli sastra berusaha mendefinisikan arti
puisi tetapi tidak ada satupun yang memuaskan masyarakat akan pengertian atau
definisi puisi itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh para ahli memandang puisi
dari berbagai sudut pandang dan semakin lama puisi semakin berkembang mengikuti
zaman sehingga definisi yang tepat untuk puisi itu sendiri belumlah ditemukan.
Secara
etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani poeima “membuat” atau poeisis ‘pembuatan’, dan dalam bahasa
Inggris disebut poem atau poetry (Aminuddin, 2004: 134). Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat
oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait (Depdiknas, 1997:
794). Thomas Chalye yang dikutip Waluyo mengatakan puisi
merupakan ungkapan pikiran yang bersifat musikal (Waluyo, 1991: 23).
Berdasarkan beberapa pendapat
tersebut, dapat dirumuskan bahwa puisi adalah bentuk karangan kesusastraan yang
mengungkapkan pikiran dan mengekspresikan perasaan, yang merangsang imajinasi
panca indera dalam susunan yang berirama secara imajinatif, dengan menggunakan
unsur musikal yang rapi, padu dan harmonis sehingga terwujud keindahan. Jadi,
puisi adalah cara yang paling indah, impresif dan yang paling efektif dari
pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.
2.2 Struktur
Puisi
Sebuah
puisi adalah sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun.
Unsur-unsur pembangun ini saling berkaitan satu sama lain. Puisi terdiri atas dua unsur pokok yakni struktur fisik dan struktur batin
(Waluyo, 1991: 29). Struktur puisi
yang telah kita kenal terdiri
dari struktur batin puisi dan struktur fisik puisi. Berikut ini akan kita bahas
satu per satu.
2.2.1.
Struktur Batin Puisi (Hakikat Puisi)
Struktur
batin puisi atau struktur makna merupakan pikiran perasaan yang diungkapkan
penyair (Waluyo, 1991: 47). Struktur batin puisi merupakan wacana teks puisi
secara utuh yang mengandung arti atau makna yang hanya dapat dilihat atau
dirasakan melalui penghayatan. Menurut I.A Richards sebagaimana yang dikutip
Herman J. Waluyo menyatakan batin puisi ada empat, yaitu : tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair
terhadap pembaca (tone), amanat (intention) (Waluyo, 1991: 180-181).
Berikut ini akan dibahas struktur batin puisi.
a. Tema
Dalam sebuah puisi tentunya sang penyair ingin
mengemukakan sesuatu hal bagi penikmat puisinya. Sesuatu yang ingin diungkapkan
oleh penyair dapat diungkapkan melalui puisi atau hasil karyanya yang dia dapatkan
melalui pengelihatan, pengalaman
ataupun kejadian yang pernah dialami
atau kejadian yang terjadi pada suatu masyarakat dengan bahasanya sendiri. Dia
ingin mengemukakan, mempersoalkan, mempermasalahkan hal-hal
itu dengan caranya sendiri. Atau dengan
kata lain sang penyair ingin mengemukakan pengalaman pribadinya kepada para
pembaca melalui puisinya (Tarigan, 1984: 10). Inilah tema, tema adalah gagasan
pokok yang dikemukakan oleh sang penyair yang terdapat dalam puisinya
(Siswanto, 2008: 124).
Dengan latar belakang pengetahuan yang
sama, penafsir-penafsir puisi akan
memberikan tafsiran tema yang sama bagi
sebuah puisi, karena tafsir puisi bersifat lugas, obyektif dan khusus (Waluyo,
1991: 107). Berikut ini dipaparkan macam-macam tema puisi sesuai dengan
Pancasila.
1) Tema
Ketuhanan
Puisi-puisi
bertema ketuhanan biasanya akan menunjukkan religius
experience atau “pengalaman religi” penyair yang didasarkan tingkat
kedalaman pengalaman ketuhanan seseorang. Dapat juga dijelaskan sebagai tingkat
kedalaman iman seseorang terhadap
agamanya atau lebih luas lagi terhadap Tuhan atau kekuasaan gaib (Waluyo, 1991:
107). Kedalaman rasa ketuhanan itu tidak lepas dari bentuk fisik yang terlahir
dalam pemilihan kata, ungkapan, lambang, kiasan dan sebagainya yang menunjukkan
betapa erat hubungan antara penyair dengan Tuhan. Juga menunjukkan bagaimana
penyair ingin Tuhan mengisi seluruh kalbunya. (Waluyo, 1991: 108).
2)
Tema
Kemanusiaan
Tema kemanusiaan bermaksud menunjukkan betapa tingginya martabat manusia
dan bermaksud meyakinkan pembaca bahwa
setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama. Perbedaan kekayaan, pangkat
dan kedudukan seseorang tidak boleh menjadi sebab adanya perbedaan perlakuan
terhadap kemanusiaan seseorang (Waluyo, 1991: 112).
3) Tema
Patriotisme / Kebangsaan
Tema patriotisme dapat meningkatkan
perasaan cinta akan bangsa dan tanah air. Banyak puisi yang melukiskan
perjuangan merebut kemerdekaan dan mengisahkan
riwayat pahlawan yang berjuang merebut kemerdekaan atau melawan
penjajah. Tema patriot juga dapat diwujudkan dalam bentuk usaha penyair untuk
membina kesatuan bangsa atau membina
rasa kenasionalan (Waluyo, 1991: 115).
4)
Tema
Kedaulatan Rakyat
Penyair begitu sensitif perasaannya
untuk memperjuangkan kedaulatan rakyat dan menentang sikap sewenang-wenang
pihak yang berkuasa, di dapati dalam puisi protes. Penyair berharap orang yang
berkuasa memikirkan nasib si miskin. Diharapkan penyair agar kita semua
mengejar kekayaan pribadi, namun juga mengusahakan kesejahteraan bersama.
5)
Tema
Keadilan Sosial
Nada protes sosial sebenarnya lebih banyak menyuarakan tema keadilan sosial
dari pada tema kedaulatan rakyat. Yang dituliskan dalam tema keadilan sosial
adalah ketidakadilan dalam masyarakat dengan tujuan untuk mengetuk nurani
pembaca agar keadilan sosial ditegakkan dan diperjuangkan.
b. Perasaan
Penyair (Feeling)
Perasaan (feeling)
merupakan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang ditampilkannya. Perasaan
penyair dalam puisinya dapat dikenal melalui penggunaan ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam puisinya karena dalam
menciptakan puisi suasana hati penyair juga ikut diekspresikan dan harus dapat
dihayati oleh pembaca (Waluyo, 1991: 121). Hal ini selaras dengan pendapat
Tarigan (1984:11) yang menyatakan bahwa rasa adalah sikap penyair
terhadap pokok permasalahan yang terkandung dalam puisinya.
c.
Nada dan Suasana
Menurut Tarigan (1984: 17) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan nada dalam
dunia perpuisian adalah sikap sang penyair terhadap pembacanya atau dengan kata
lain sikap sang penyair terhadap para penikmat karyanya.
d. Amanat (Pesan)
Penyair
sebagai sastrawan dan anggota masyarakat baik secara sadar atau tidak merasa
bertanggugjawab menjaga kelangsungan hidup sesuai dengan hati nuraninya. Oleh
karena itu, puisi selalu ingin mengandung amanat (pesan). Meskipun penyair
tidak secara khusus dan sengaja mencantumkan amanat dalam puisinya. amanat
tersirat di balik kata dan juga di balik tema yang diungkapkan penyair (Waluyo,
1991: 130). Amanat adalah maksud yang hendak disampaikan atau himbauan,pesan,
tujuan yang hendak disampaikan penyair melalui puisinya.
2.2.2 Struktur
Fisik Puisi
Struktur fisik puisi adalah unsur pembangun puisi dari luar (Waluyo,
1991: 71). Puisi disusun dari kata dengan bahasa yang indah dan bermakna yang
dituliskan dalam bentuk bait-bait. Orang dapat
membedakan mana puisi dan mana bukan puisi berdasarkan bentuk lahir atau fisik
yang terlihat.
Berikut ini
akan dibahas struktur fisik puisi yang meliputi : diksi, imajinasi, kata
konkret, majas, verifikasi, majas dan tipografi.
a. Diksi atau Pilihan Kata
Salah satu hal yang ditonjolkan
dalam puisi adalah kata-katanya ataupun pilihan katanya. Bahasa merupakan sarana
utama dalam puisi. Dalam menciptakan sebuah puisi penyair mempunyai tujuan yang
hendak disampaikan kepada pembaca melalui puisinya. Penyair ingin mencurahkan
perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami
hatinya. Selain itu juga ia ingin mengekspresikannya dengan ekspresi yang dapat
menjelmakan pengalaman jiwanya. Untuk itulah harus dipilih kata-kata yang
setepat-tepatnya. Penyair juga ingin mempertimbangkan perbedaan arti yang
sekecil-kecilnya dengan cermat.
Penyair harus cermat memilih kata-kata karena kata-kata yang ditulis harus
dipertimbangkan maknanya, kompisisi bunyi, dalam rima dan irama serta kedudukan
kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam
keseluruhan puisi itu. Dengan uraian singkat diatas, ditegaskan
kembali betapa pentingnya diksi bagi suatu puisi. Menurut Tarigan (1984: 30),
pilihan kata yang tepat dapat mencerminkan ruang, waktu, falsafah, amanat,
efek, nada suatu puisi dengan tepat.
b. Imajinasi
Semua penyair ingin
menyuguhkan pengalaman batin yang pernah dialaminya kepada para pembacanya
melalui karyanya. Salah satu usaha untuk memenuhi keinginan tersebut ialah
dengan pemilihan serta penggunaan kata-kata dalam puisinya (Tarigan, 1984: 30).
Ada hubungan yang erat antara pemilihan kata-kata, pengimajian dan kata
konkret, di mana diksi yang dipilih harus menghasilkan dan karena itu kata-kata menjadi lebih konkret
seperti yang kita hayati dalam penglihatan, pendengaran atau cita rasa.
Pengimajian dibatasi dengan pengertian kata atau susunan kata-kata yang dapat
mengungkapkan pengalaman sensoris seperti penglihatan, pendengaran dan perasaan
(Waluyo, 1991: 97).
Pilihan serta penggunaan
kata-kata yang tepat dapat memperkuat serta memperjelas daya bayang pikiran
manusia dan energi tersebut dapat mendorong imajinasi atau daya bayang
kita untuk menjelmakan gambaran yang nyata. Dengan menarik perhatian kita pada
beberapa perasaan jasmani sang penyair berusaha membangkitkan pikiran dan
perasaan para penikmat sehingga mereka menganggap bahwa merekalah yang
benar-benar mengalami peristiwa jasmaniah tersebut (Tarigan, 1984: 30).
Dengan menarik perhatian pembacanya
melalui kata dan daya imajinasi akan memunculkan sesuatu yang lain yang belum
pernah dirasakan oleh pembaca sebelumnya.
Segala yang dirasai atau dialami
secara imajinatif inilah yang biasa dikenal dengan istilah imagery atau imaji atau pengimajian (Tarigan, 1984: 30).
Dalam
puisi kita kenal bermacam-macam (gambaran
angan) yang dihasilkan oleh indera pengihatan, pendengaran, pengecapan,
rabaan, penciuman, pemikiran dan gerakan (Pradopo, 1990: 81). Selanjutnya
terdapat juga imaji penglihatan (visual), imaji pendengaran (auditif) dan imaji cita rasa (taktil) (Waluyo, 1991: 79). Semua imaji di atas bila dijadikan satu,
secara keseluruhan dikenal beberapa macam imajinasi, yaitu :
1) Imajinasi Visual, yakni
imajinasi yang menyebabkan pembaca seolah-olah seperti melihat sendiri apa yang dikemukakan atau diceritakan oleh penyair.
2) Imajinasi Auditori, yakni
imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti mendengar sendiri apa yang dikemukakan penyair. Suara
dan bunyi yang dipergunakan tepat sekali untuk melukiskan hal yang dikemukakan,
hal ini sering menggunakan
kata-kata onomatope.
3) Imajinasi Articulatori, yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca
seperti mendengar
bunyi-bunyi dengan artikulasi-artikulasi tertentu pada bagian mulut waktu kita membaca sajak itu seakan-akan kita melihat gerakan-gerakan
mulut membunyikannya, sehingga ikut bagian-bagian mulut kita dengan sendirinya.
4)Imajinasi Olfaktori, yakni imajinasi penciuman atau pembawaan
dengan membaca atau mendengar kata-kata tertentu kita seperti mencium bau
sesuatu. Kita seperti mencium bau rumput yang sedang dibakar, kita seperti
mencium bau tanah yang baru
dicangkul, kita seperti mencium bau bunga mawar, kita seperti mencium bau apel
yang sedap dan sebagainya.
5)Imajinasi Gustatori, yakni imajinasi pencicipan. Dengan membaca atau mendengar
kata-kata atau kalimat-kalimat tertentu kita seperti mencicipi suatu benda yang
menimbulkan rasa asin, pahit, asam dan sebagainya.
6) Imajinasi Faktual, yakni imajinasi rasa kulit, yang menyebabkan
kita seperti merasakan di bagian kulit badan kita rasanya nyeri, rasa dingin,
atau rasa panas oleh tekanan udara atau oleh perubahan suhu udara.
7)Imajinasi Kinaestetik, yakni imajinasi gerakan tubuh atau otot yang
menyebabkan kita merasakan atau melihat gerakan badan atau otot-otot tubuh.
8)Imajinasi Organik, yakni imajinasi badan yang menyebabkan kita
seperti melihat atau merasakan badan yang capai, lesu, loyo, ngantuk, lapar,
lemas, mual, pusing dan sebagainya.
Imaji-imaji di atas tidak
dipergunakan secara terpisah oleh penyair melainkan dipergunakan bersama-sama,
saling memperkuat dan saling menambah kepuitisannya (Pradopo, 1990: 81).
c. Kata Konkret
Salah satu cara
untuk membangkitkan daya bayang atau daya imajinasi para penikmat sastra
khususnya puisi adalah dengan menggunakan kata-kata yang tepat, kata-kata yang
kongkret, yang dapat menyaran pada suatu pengertian menyeluruh. Semakin tepat
sang penyair menggunakan kata-kata atau bahasa dalam karya sastranya maka akan
semakin kuat juga daya pemikat untuk penikmat sastra sehingga penikmat sastra
akan merasakan sensasi yang berbeda. Para penikmat sastra akan menganggap bahwa
mereka benar-benar melihat, mendengar,
merasakan, dan mengalami segala sesuatu yang dialami oleh sang penyair
(Tarigan, 1984: 32). Dengan keterangan singkat diatas maka dapat disimpulkan
bahwa kata konkret adalah kata-kata yang dapat di tangkap dengan indra
(Siswanto, 2008: 119).
d. Majas atau Bahasa Figuratif
Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berpigura sehingga
disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis
artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif adalah
bahasa yang digunakan oleh penyair untuk menyatakan sesuatu dengan cara yang
tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna kata atau
bahasanya bermakna kias atau makna lambang (Waluyo, 1991: 83).
Bahasa kias merupakan
wujud penggunaan bahasa yang mampu mengekspresikan makna dasar ke asosi lain. Kiasan yang tepat
dapat menolong pembaca merasakan dan melihat seperti apa yang dilihat atau apa
yang dirasakan penulis. Seperti yang diungkapkan Pradopo bahwa kias dapat
menciptakan gambaran angan/ citraan (imagery)
dalam diri pembaca yang menyerupai gambar yang dihasilkan oleh pengungkapan
penyair terhadap obyek yang dapat dilihat mata, saraf penglihatan, atau daerah
otak yang bersangkutan (1990:80). Bahasa figuratif dipandang lebih efektif
untuk menyatakan apa yang dimaksudkan penyair karena: (1) Bahasa figuratif
mampu menghasilkan kesenangan imajinatif, (2) Bahasa figuratif dalah cara untuk
menghasilkan imaji tambahan dalam puisi sehingga yang abstrak menjadi kongret
dan menjadikan puisi lebih nikmat dibaca, (3) Bahasa figuratif adalah cara
menambah intensitas, (4) Bahasa figuratif adalah cara untuk mengkonsentrasikan
makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu yang banyak dan
luas dengan bahasa yang singkat (Waluyo, 1991: 83). Adapun bahasa kias yang
biasa digunakan dalam puisi ataupun karya sastra lainnya yaitu:
1) Perbandingan/
Perumpamaan (Simile)
Perbandingan
atau perumpamaan (simile) ialah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan
hal yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, bak,
semisal, seumpama, laksana dan kata-kata pembanding lainnya.
2) Metafora
Bahasa kiasan seperti
perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai,
laksana dan sebagainya. Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama
atau seharga dengan yang lain yang sesungguhnya tidak sama.
3) Personifikasi
Kiasan
ini mempersamakan benda dengan manusia. Benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir dan
sebagainya. Seperti halnya manusia dan banyak dipergunakan penyair dulu sampai
sekarang. Personifikasi membuat hidup lukisan di samping itu memberi kejelasan
kebenaran, memberikan bayangan angan yang konkret.
4) Hiperbola
Kiasan yang berlebih-lebihan.
Penyair merasa perlu melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapat
perhatian yang lebih seksama dari pembaca.
5)
Metonimia
Bahasa
kiasan yang lebih jarang dijumpai pemakaiannya. Metonimia ini dalam bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti nama.
Bahasa ini berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan
sesuatu yang sangat dekat hubungannya dengan mengganti objek tersebut.
6) Sinekdoki (Syneadoche)
Bahasa kiasan yang menyebutkan
sesuatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri.
Sinekdoke ada dua macam
- Pars Prototo : sebagian untuk
keseluruhan
- Totum Proparte : keseluruhan
untuk sebagian
(Pradopo, 1990: 78).
7)
Allegori
Cerita kiasan ataupun lukisan
kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan ini mengkiaskan hal lain atau
kejadian lain.
Perlambangan yang dipergunakan
dalam puisi :
a) Lambang
warna
b) Lambang benda : penggunaan benda
untuk menggantikan sesuatu yang ingin diucapkan.
c) Lambang bunyi : bunyi yang
diciptakan penyair untuk melambangkan perasaan
tertentu.
d) Lambang suasana : suasana yang
dilambangkan dengan suasana lain yang lebih
konkret.
e. Verifikasi (Rima, Ritma dan Metrum)
Versifikasi terdiri dari rima,
ritma dan metrum.
1) Rima
Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalisasi
atau orkestrasi sehingga puisi menjadi menarik untuk dibaca.
Dalam puisi banyak jenis rima
yang kita jumpai antara lain :
a) Menurut bunyinya :
(1)
Rima
sempurna bila seluruh suku akhir sama bunyinya
(2)
Rima tak
sempurna bila sebagian suku akhir sama bunyinya
(3) Rima mutlak
bila seluruh bunyi kata itu sama
(4)
Asonansi perulangan
bunyi vokal dalam satu kata
(5) Aliterasi :
perulangan bunyi konsonan di depan setiap kata secara berurutan
(6) Pisonansi (rima
rangka) bila konsonan yang membentuk kata itu sama, namun vokalnya
berbeda.
b) Menurut letaknya:
(1) Rima depan :
bila kata pada permulaan baris sama
(2) Rima tengah :
bila kata atau suku kata di tengah baris suatu puisi itu sama
(3) Rima akhir bila
perulangan kata terletak pada akhir baris
(4) Rima tegak bila
kata pada akhir baris sama dengan kata pada permulaan baris
(5) Rima datar bila
perulangan itu terdapat pada satu baris.
2) Ritma
Pertentangan bunyi, tinggi rendah, panjang pendek, keras
lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk
keindahan (Waluyo, 1991: 94). Ritma terdiri dari tiga macam, yaitu :
a) Andante : Kata yang terdiri dari dua
vokal, yang menimbulkan irama lambat
b) Alegro : Kata bervokal tiga,
menimbulkan irama sedang
c) Motto Alegro : kata yang bervokal
empat yang menyebabkan irama cepat.
3) Metrum
Perulangan
kata yang tetap bersifat statis (Waluyo, 1991: 94). Nama metrum didapati dalam
puisi sastra lama. Pengertian metrum menurut Pradopo adalah irama yang tetap,
pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu (Pradopo, 1990: 40).
Peranan metrum sangat penting dalam pembacaan puisi dan
deklamasi.
f. Tipografi atau Perwajahan
Ciri-ciri yang dapat dilihat
sepintas dari puisi adalah perwajahannya atau tipografinya. Melalui
indera mata tampak bahwa puisi tersusun atas kata-kata yang membentuk
larik-larik puisi. Larik-larik itu disusun ke bawah dan terikat dalam
bait-bait. Banyak kata, larik maupun
bait ditentukan oleh keseluruhan makna puisi yang ingin dituliskan penyair. Dengan demikian satu bait puisi bisa terdiri dari satu kata bahkan satu
huruf saja. Dalam hal cara penulisannya puisi tidak selalu harus ditulis dari
tepi kiri dan berakhir di tepi kanan seperti bentuk tulisan umumnya. Susunan
penulisan dalam puisi disebut tipografi (Pradopo, 1990: 210).
Struktur fisik puisi membentuk
tipografi yang khas puisi. Tiprografi
puisi merupakan bentuk visual yang bisa memberi makna tambahan dan
bentuknya bisa didapati pada jenis puisi konkret. Tipografi bentuknya bermacam-macam
antara lain berbentuk grafis, kaligrafi, kerucut dan sebagainya. Jadi tipografi memberikan ciri khas puisi pada periode angkatan tertentu.
2.3 Contoh Puisi Beserta Unsur-unsur intrinsiknya
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...
Karya : Chairil Anwar
A. Unsur
Intrinsik
1. Struktur
Fisik Puisi
a. Diksi
Diksi
merupakan makna kiasan yang harus dipahami secara seksama dan menyeluruh,
seperti:
Sajak merupakan kiasan suara hati si penyair, suara hati si aku. Putih mengiaskan ketulusan, kejujuran, dan keihklasan. Jadi, sajak putih berarti suara hati si aku yang sangat tulus dan jujur.
Pada bait I
Sajak merupakan kiasan suara hati si penyair, suara hati si aku. Putih mengiaskan ketulusan, kejujuran, dan keihklasan. Jadi, sajak putih berarti suara hati si aku yang sangat tulus dan jujur.
Pada bait I
- “Warna pelangi” adalah gambaran hati seorang pemuda yang sedang senang;
- “Bertudung sutra senja” yang dimaksud adalah pada sore hari;
- “Di hitam matamu kembang mawar dan melati” yang di maksud adalah bola matanya yang indah.
Pada bait II
- “Sepi menyanyi” yang di maksud adalah memohon (do’a) kepada Allah;
- “Muka kolam air jiwa” yang di maksud adalah bersedih hati;
- “Dadaku memerdu lagu” yang di maksud adalah berkata dalam hati;
- “Menari seluruh aku” menggambarkan rasa kegembiraan.
Pada bait
III
- “Hidup dari hidupku, pintu terbuka” menggambarkan bahwa si aku merasa hidupnya penuh dengan kemungkinan dan ada jalan keluar;
- “Selama matamu bagiku menengadah” merupakan kiasan bahwa si gadis masih mencintai si aku, mau memandang wajah si aku;
- “Selama kau darah mengalir dari luka” yang di maksud adalah hidup si aku penuh harapan selama si gadis masih hidup wajar;
- “Antara kita Mati datang tidak membelah” menggambarkan sampai kematian tiba pun keduanya masih mencintai, dan tidak akan terpisahkan.
b. Citraan
Citraan
dalam karya sastra berperan untuk menimbulkan pembayangan imajinatif bagi
pembaca melalui ungkapan tidak langsung.
- Citraan visual (penglihatan) terlihat pada baris kedua dan kedelapan yaitu “Kau depanku dan menarik menari”.
- Citraan indera (pencium) terlihat pada bait keempat yaitu “Harum rambutmu”.
- Citraan indera (pendengaran) terlihat pada baris kelima yaitu “Sepi menyayi”.
c. Kata-kata
konkret
Pada puisi
ini ditemukan diksi yang berupa kata-kata konkret yang dapat membangkitkan
citraan seperti penglihatan, penciuman, pendengaran. Kata-kata konkret tersebut
sangat jelas menunjukan sikap tindakan baik dari penyair maupun dari pembaca.
Kata-kata konkret tersebut bertujuan untuk menggambarkan unsur-unsur puisi
secara tepat agar pembaca dapat merasakan keadaan yang dirasakan penyair.
d. Gaya
Bahasa (Majas)
Dalam puisi
“Sajak Putih” gaya bahasa (majas) yang muncul yaitu:
- Pada baris ketiga bait pertama, yaitu “Dihitam matamu kembang mawar dan melati”, merupakan majas metafora yang bersifat membandingkan sesuatu secara langsung. Mawar dan melati yang mekar menggambarkan sesuatu yang indah dan menarik, biasanya mawar itu berwarna merah yang menggambarka cinta dan melati putih menggambarkan kesucian. Jadi dalam mata si gadis tampak cinta yang tulus, menarik, dan mengikat.
- Majas repetisi pada baris kesembilan bait ketiga, yaitu terjadi pengulangan kata, “Hidup dari hidupku”, menggambarkan bahwa si aku merasa hidupnya penuh dengan kemungkinan.
- Pada baris 1 bait 1 yaitu, “Tari warna pelangi” merupakan bahasa kiasan personifikasi yang menggambarkan benda mati dapat digambarkan seolah-olah hidup. “Rambutmu mengalun bergelut senda” juga menggunakan bahasa kiasan personifikasi.
- Dalam bait kedua baris pertama, “Sepi menyanyi” adalah personifikasi karena mereka berdua tidak berkata-kata, suasana begitu khusuk seperti waktu malam untuk mendoa tiba. Dalam keadaan diam itu, jiwa si akulah yang berteriak seperti air kolam kena angin.
- Majas Anatonomasia pada bait kesatu baris kedua yaitu, “Kau depanku bertudung sutra senja” yang menggunakan ciri fisik seseorang sebagai penggantinya.
e. Rima dan
ritma
Puisi “Sajak
Putih” secara keseluruhan didominasi dengan adanya vokal /a/, /i/, dan /u/.
Asonansi vokal /a/ terdapat pada baris puisi yaitu baris 2, 4, 5, 6, 9, 10, 11,
dan 12. Misalnya:
Asonansi vokal (a)
Asonansi vokal (a)
“Kau
depanku bertudung sutra senja” (baris kedua bait pertama). “Harum rambutmu
mengalun bergelut senja” (baris keempat bait pertama).
Asonansi
vokal (i)
“Bersandar
pada tali warna pelangi” (bait pertama baris pertama). “Dihitam matamu kembang
mawar dan melati” (bait pertama baris ketiga).
Dari
asonansi vokal diatas dapat disimpulkan bahwa puisi ini mempunyai irama yang
tepat dan beraturan yakni irama vokal i i a a.
B. Struktur
Batin Puisi
a. Tema
Tema dalam
puisi “Sajak Putih” adalah “Percintaan”. Dalam puisi Sajak Putih
menceritakan seorang gadis yang sangat cantik yang mempunyai cinta yang sangat
tulus dan memikat terhadap seorang pria yang membuat pria tersebut merasa
terharu dan tertarik terhadapnya. Tetapi kedua insan tersebut belum ada
kesiapan untuk saling menyatakan perasaannya masing-masing, mereka hanya diam
tanpa ada sepatah kata yang diucapakn, mereka hanya berbicara didalam hatinya
masing–masing, tetapi si pria tersebut mempunyai banyak harapan bahwa gadis
tersebut mencintainya. Kedua insan tersebut berjanji bahwa sampai kapanpun
mereka tak akan terpisahkan.
b. Perasaan
Perasaan
yang ditekankan pada puisi ini adalah rasa bahagia karena kedua insan yang
tadinya tidak mempunyai keberanian untuk saling menyatakan perasannya, tetapi
pada akhirnya mereka mempunyai keberanian untuk saling menyatakaan perasaannya.
Karena cinta yang dimiliki oleh kedua insan tersebut sangat tulus dan suci.
c. Nada
Nada yang
ditunjukan dalam puisi “Sajak Putih” ini adalah kegembiraan dan kebahagiaan.
Nada gembira dan bahagia ini muncul karena, rasa gembira seorang pria yang
memiliki seorang gadis yang mempunyai cinta yang sangat tulus dan suci
terhadapnya yang terlihat pada kata tali warna pelangi, sutra senja, menarik
menari. Maka munculah benih-benih cinta diantara mereka. Unsur nada dalam puisi
ini adalah optimis, dan kesetiaan.
Unsur nada optimis Hidup dari hidupku, pintu terbuka Selama matamu bagiku menengadah Unsur nada kesetiaan Selama kau darah mengalir dari luka Antara kita Mati datang tidak membelah.
Unsur nada optimis Hidup dari hidupku, pintu terbuka Selama matamu bagiku menengadah Unsur nada kesetiaan Selama kau darah mengalir dari luka Antara kita Mati datang tidak membelah.
d. Amanat
Dalam puisi
ini amanat yang disampaikan oleh penyair adalah bahwa jika kita mencintai
seseorang harus berani untuk menyatakaan perasaan kita masing-masing, menerima
segala kelebihan dan kekurangan pasangan kita, dan berusahalah untuk selalu
mencintai dan ada disisinya sampai hembusan nafas terakhir.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Salah satu genre sastra adalah puisi. Puisi
mempunyai unsur-unsur pembangun yang menunjang bentuk dari puisi itu sendiri.
Unsur pembangun puisi itu sendiri terdiri dari struktur batin puisi (hakikat
puisi) dan struktur fisik puisi (metode puisi). Struktur batin puisi terdiri
dari tema, rasa, nada dan amanat atau pesan; sedangkan struktur fisik puisi
terdiri dari diksi, imaji, kata konkret, majas, verifikasi dan tipografi. Kedua
struktur ini saling berhubungan satu sama lain, saling bergantung satu sama
lain dan tidak bisa dipisahkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung:
Sinar Baru Algensindo.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1990. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Bandung:
Grasindo.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung:
Angkasa.
Waluyo, J. Herman. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Bandung:
Angkasa
Komentar
Posting Komentar